Sunday 25 September 2016

Ketika Dilakukan dalam Sekali Dayung

Selanjutnya, semenjak tahun kedua kuliah rutinitas pagi berangsur tersusun rapi. Saya ambil kerja sampingan disamping kegiatan kuliah dan organisasi. Awal mula adaptasi dengan kegiatan yang bersamaan tersebut butuh kerja keras, sempat beberapa diagnosa sakit menerpa karena pola hidup masih berantakan. Atau yang tiba-tiba demam ketika malam hari, dan mimisan ketika pagi hari sudah tidak menjadi hal yang mengejutkan. Mulai diagnosa ISPA, jantung, alergi dingin, hingga asam urat yang wajarnya itu adalah 'penyakit tua'. Bak tusukan jarum dari dalam ketika sedang kambuh. Ahhh, yang paham asam urat pasti tau lah ya. Pelajaran yang ambil pada tahun kedua kuliah, ambisius yang menyetir perjuangan hidup hendaknya dilengkapi dengan pola yang baik pula hingga selanjutnya kita bisa menjadi teladan yang tidak hanya peduli dengan lingkungan sekitar, namun juga peduli dengan diri sendiri. 

Semester 3 dan semester 4 nilai IPK meningkat walau tidak melejit. Secara berkala dan berproses pula. Sempat mengeluh, bingung, dan akhirnya harus menyiapkan strategi untuk menghadapinya. Yaps, masalah hakikatnya memang datang dengan solusi, ketika sadar hal itu dalam keadaan panik pun kita menjadi tenang. Sangat bersyukur keadaan berangsur membaik. Teringat ketika semester awal yang sempat hanya menganggarkan Rp.5000,- untuk makan per hari dan dengan fasilitas kamar kosan yang sangat minim dan kegiatan yang banyak. Kawan sejawat menyuruh saya untuk menjebolkan kisah ini menjadi buku (been thinking hardly to make it come true)

.........

Ketika Dilakukan dalam Sekali Dayung 


"Pika, kumaha damang? Kemana wae atuh?"

Pertanyaan yang membuat saya semakin bertanya kepada diri sendiri, ohh berarti selama ini saya pergi ya. Padahal saya masih disini saja. Terlebih saya masih juga bertemu dengan banyak orang. Mungkin mereka yang menanyakan seperti itu adalah yang memang menantikan kehadiran saya (kembali). Kehadiran seperti apa yang diharapkan?
*Di Jatinangor saat ini hujan, saya semakin menikmati menulis ini*

Dosen kampus saya pernah berkata, hakikatnya manusia itu dinamis sifatnya dan memiliki jati diri lebih dari satu. Jati diri sesungguhnya adalah ketika kita sendiri.  

Setuju? 

Pernyataan seperti itu kemudian berubah dari pertanyaan kepada diri sendiri. Apakah saya mengalami dinamika? Dinamika yang saya buat skenario sendiri atau datang secara alami? Dinamika itu datang dari mana. Well, I'm trying to be a (good) thinker. 

Banyak waktu yang saya habiskan untuk bekerja, bertemu dengan teman dalam suatu organisasi, bertemu relasi, calon klien, klien, bertemu keluarga, dan dalam waktu yang bersamaan saya penikmat suasanan perjalanan dalam berkendara entah itu naik kereta, bis, atau yang lainnya. Sebelum dan setelah bertemu orang saya selalu berpikir mengenai jati diri kepada masing-masing orang dan bertanya siapa yang mau menerima jati diri saya sesungguhnya? *silakan dijawab* 
Semua terangkum dalam detik yang tak terasa detik berubah berubah menjadi hitungan hari. Membicarakan mengenai hakikat dinamika bukanlah suatu hal yang tuntas seketika ketika dibahas. Orang yang awalnya baik kemudian bisa berubah menjadi jahat, kita tidak bisa menjamin keberadaannya. 

Saya rasa sosok yang mau menerima jati diri kita sesungguhnya adalah diri kita sendiri. Sehingga sangat disayangkan ketika diri kita berbuat salah kita tidak mampu menerimanya dan tidak mau memperbaikinya. Lantas kita biarkan saja hidup dalam raga tanpa jiwa. 

Merudung kabar gembira dan sedih dalam satu waktu, dan tidak dituntut kita untuk mencampur adukkan perasaan gembira dan sedih dalam tempat yang berbeda. Sering kita sebut, profesionalitas. Namun, tak bisa dipungkiri kita butuh sandaran bahu untuk mendengarkan peluh dan membangkitkan nilai positif dalam prinsip kehidupan. Karena kita bukan robot, kita memiliki hati yang selalu memainkan perannya. Tugas kita adalah membiarkan hati itu bermain dengan perannya dan mengontrolnya. 

Ahh, waktu berjalan begitu cepat. Seakan sudah lama tak berjumpa, satu orang, dua orang, tiga orang mulai menanyakan kabar. Dan beberapa mengirimkan pesan kabar. 

Pengalaman penolakan tidak hanya sekali dua kali, bahkan pun karena asumsi orang yang mengatakan bahwa saya sibuk. Sebenarnya sibuk bukan alasan, sibuk kalau dari kita bisa memprioritaskan pekerjaan selesai. 

Ketika dilakukan dalam sekali dayung, antara mencari nafkah untuk hidup, kuliah di kampus, dan organisasi di universitas kehidupan akan banyak resiko yang dihadapi. Pun bisa jadi kesehatan menjadi resikonya atau bahkan waktu luang bersama keluarga kurang. Bahkan, kita dituntut berpikir dalam setiap detailnya ketika mata mulai terbuka pertama dari bangun tidur. Lantas, menurut saya disini kecerdasan emosional yang mulai dilatih. Bagaimana mengontrol emosional, menjaga diri agar bisa disukai banyak orang, bisa menjaga rahasia teman, juga mencintai diri sendiri. 




Sekian, 

Sayap kecil 
25 Sept 2016 15.19 WIB