Friday 20 February 2015

So guess.. 
What gotta I write now ? 
Sebenarnya suatu hal yang sangat kutakuti ketika aku sadar posisi raga dana jiwaku yang 'terdampar' saat ini. Dengan keadaan yang masih tak bisa aku menyangkalnya ketika memori-memori masa lalu kembali terungkap. Bahkan sebagian masa lalu yang ingin aku ubah haluannya sedikit demi sedikit itu membuatku semakin tak berdaya karena tak kunjung membuahkan hasil. Ingin rasanya aku berteriak karena aku merasakan rintihan dalam hati ini yang seolah-olah aku mengatakan aku sendiri melangkah di kehidupan yang kejam ini dan aku diambang putus asa.
Apa kesibukanku akhir-akhir ini ?
Aku sibuk mendekatkan diri kepada Sang Ilahi. Meraungi amanah kehidupan yang seharusnya aku jalani saat ini. Namun hanya sebagaian kecil yang aku jalani.
Sebenarnya ini berkaitan erat dengan kerinduan bapak dan ibuk di Magetan, beserta panjatan do'a yang muncul disetiap hela napas usai sholat. Wajah polos ini masih berusaha memberikan sinar senyum dengan imutnya meskipun batin mengoyak seketika ketika aku melihat betapa bahagia teman-teman dengan orang tuanya yang begitu siap dan setia mendukungnya dalam setiap langkah meraih cita dan cinta mereka. Sedangkan aku sudah terbiasa menjalani dan berjalan sendiri dalam menggapai asa. Sejujurnya aku iri dengan mereka, mereka yang selalu diperhatiin dengan orang tua mereka, selalu diingatkan dengan segala petuah dan nasihat yang menjadi bimbingan mereka, juga selalu diberikan berbagai fasilitas sebagai salah satu bentuk kasih sayang orang tua ke mereka.
Pengalamanku tidak begitu banyak dalam menyelami kehidupan. Baru segelintir yang aku kenal dan sering kali aku melakukan kesalahan hingga tak jarang aku menghukum diriku sendiri sebagai bentuk jera dan evaluasi untuk yang lebih baik. Ambisiku memang besar karena aku tidak mau perjuanganku biasa-biasa saja untuk meraih mimpiku yang tak terbatas itu. Mengintip dunia ini berhasil membuatku sontak dan terkejut hingga kemudian aku mencoba bangkit dan tidak menundukkan kepala lagi untuk mencari jati diri dan menciptakan nasib itu. Aku bukan lari dari kenyataan, tapi aku mencari kenyataan menurut versiku sendiri. Aku percaya kehidupan yang berakhir indah tidak hanya ada di dalam dunia dongeng. Namun aku akan membuktikannya suatu hari nanti kehidupanku akan berakhir lebih indah dibandingan dunia dongeng.
Katanya keadaan lingkungan kita menjadi faktor yang penting untuk memilih dan mengambil keputusan kemudian menjalaninya. Karena aku memang keras kepala, aku berani bilang kalau sebenarnya aku tidak suka dengan keadaan kampung halamanku di Magetan. Jujur saja, aku merasa terisolasi dan dikucilkan di kampung hanya karena keadaan orang tuaku saat ini. Maaf aku menulisnya disini, karena aku tidak mau hidupku terus-terusan sepeti dalam persembunyian. Aku ingin bebas dan bahagia. Orang tuaku saat ini sudah tidak hamonis kembali. Ibuk sudah memiliki pacar barunya dan aku sempat dikenalkan ke pacara barunya itu. Kemudian bapak yang telah menjadi seorang nara pidana. Bapak yang sangat aku sayang. Bapak yang sangat berkorban besar di pertumbuhan dan pendidikanku.

Wednesday 18 February 2015

Pelajaran Perjalanan

Perjalanan hidup mengajarkan kita banyak hal. Bertemu dengan orang baru kemudian menjalin silaturahim dan mendapatkan motivasi berikut inspirasi untuk terus melangkah. Dari gelas kosong, pelan-pelan terisi dan tidak akan kita biarkan gelas itu penuh. Jalan hidup memang pilihan yang bergantung pada tujuan dan mimpi yang ingin kita capai. Bahkan jalan hidup yang telah kita pilihpun bisa jadi berubah. Suara hati menjadi kunci langkah mana yang arus dijalani. Tidak ada yang namanya mendapatkan buah tanpa kita memetiknya dan menerima getahnya. Bahkan ketika kita bisa memetik dan menerima getahnya pun kita belum tentu mendapatkan buah apa yang kita inginkan. Sama halnya dengan hidup ini. Pembelajaran untuk terus mengevaluasi dan terus berusaha akan membuahkan suatu arti yang dapat dikenang hingga mati.

Thursday 12 February 2015

Sosok 'Cermin' itu

Pemuda yang sempat aku kagumi juga aku ‘kasihani’ itu sempat mengisi menarik perhatianku setahun belakang ini, semenjak aku pertama kali mengenalnya di kaki Gunung itu. Tak begitu tampan dan orangnya sederhana. Namun, ruang hati yang kosong sepat terisi oleh kehadirannya. Kehadirannya membuatku menjadi lebih mencintai diriku sendiri. Bahkan juga mencintai dirinya. Hal yang sangat aku resahkan dan aku takutkan adalah tentang perasaanku kepada pemuda. Apalagi pemuda itu, pemuda yang merantau dari tanah Daeng dan aku pemudi yang merantau dari tanah Jawa. Aku tak tahu apa yang akan terjadi esok dan hari-hari berikutnya. Karena aku takut akan perasaan cinta ini. Aku meninggalkannya sementara. Tedengar bodoh, sosok yang membantuku menjadi perempuan yang lebih baik malah aku menjauhinya. Aku hanya tidak ini tenggelam dalam perasaan cinta. Seharusnya aku biasa saja sama dia. Tapi, perempuan memang identik dengan perasaannya. Dan aku perempuan biasa yang masih belajar memahami dan memaknai perasaan. Aku menjauhinya. Dialah pemuda yang ditunggu bangsa ini. Mimpinya juga amat tinggi dan perjuangan dia juga begitu hebat. Namun aku kasihan ke dia. Mendo’akannya dalam hati, itu yang bisa aku lakukan. Berdo’a agar yang dia impikan menjadi kenyataan dan dia diberi kesabaran dan kekuatan dalam menapaki kehidupannya untuk membuat sejarah baru yang tidak bisa dilupakan. Aku menyayanginya, sangat menyayanginya. Karena itu aku menjauhinya. Aku tidak mau kehadiranku mengganggunya. Namun, diam-diam aku masih memperhatikannya. Terdengar lancang mungkin bagaimana cara aku memperhatikannya. Aku  mencoba selalu mencari tau kemana dia pergi dan dengan alasan apa dia pergi tanpa aku bertanya padanya. Ah, nanti saja aku bercerita tentang perilaku tidak sopanku ini kepada dia langsung. Karena aku mengkhawatirkannya, termasuk pemuda yang terbesit di benakku ketika bangun tidur adalah dia. Sesekali air mata yang menetes, karena aku merindukannya. Merindukan tawa, senyum , gaya kenakanak-kanakan yang begitu lucu, dengkuran tidurnya, bandel, muka polosnya yang begitu menggemaskan, ekspresi ketika dia marah karena pehatian dan sempat membuatku amat ketakutan kemudian dia senyum tiba-tiba dan membuatku ketawa. Usia kami berbeda jauh tapi juga sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya 6 tahun. Aku masih mau semester 2, masa studi yang aku lalui masih panjang dan aku juga butuh berjuang dengan kehidupanku dan meraih segala mimpi untuk mengubah nasib keluargaku menjadi lebih baik. Dia dalam kiprahnya memulai dan membangun bisnis juga mudah-mudahan dia melanjutkan studinya. Aku tidak bisa menebak dan tidak bisa mengira-ngira bagaimana perasaan dia ke aku. Dia amat dingin namun aku nyaman bercerita dan menceritakan segala hal ke dia, aku suka ketika aku menaruh perhatianku ke dia. Tapi sebenarnya, aku minder karena aku bukan siapa-siapa. Dan pasti ada perempuan lain yang dia kagumi juga menjadi semangat hidupnya saat ini. Dia memberiku lebih, namun aku tidak bisa memberinya apa-apa. Karena itu aku menjauhinya…

Aku berharap aku bisa menjadi perempuan yang lebih bisa mandiri dan tidak ‘manja’ ke dia. Dalam diam aku mendo’akannya dan diam-diam aku masih berusaha untuk memperhatikannya. Tuhan, jagalah pemuda itu, buat senyum dan semangatnya terus berkobar. Lindungi dia dari kejamnya realita dunia ini. Kuatkan dia ketika dia merasakan kegundahan dalam hidupnya. 

Monday 9 February 2015

Maafkan Embak Adikku...

Tuhan, apa salahku ? Bantu aku untuk mengevaluasi dan untuk menjalani kehidupan yang penuh terkaan ini. Merantau memang bukan pilihanku namun ini kebutuhanku melihat keadaan keluargaku yang butuh perubahan yang lebih baik. Aku menyayangi mereka, lebih dari aku menyayangi diriku sendiri.
Mengapa ini terjadi kepada keluargaku ?
Terpaan ini hidup begitu berat aku rasakan. Rasanya getir dan pedih sekali  namun keadaan seakan-akan menyuruhku untuk tetap tersenyum dengan wajah polos walau sebenarnya itu suatu kebohongan besar.
Niat awal yang menjad komitmenku aku jalani hingga sekarang. Bertubi-tubi kegagalan aku hadapi dan ribuan kilo jalan aku berjalan bahkan berlari. Dengan cinta penuh demi keadaan keluarga keluarga aku bertahan. Namun sekali lagi, semangatku tergoyahkan. Aku malu dan sangat malu. ‘Musibah’ itu datang kepada keluargaku. Aku mencoba dan terus  mencoba sekuat hati dan tenaga untuk menciptakan nama baik keluarga, namun seakan-akan ‘karma’ itu uterus menghampiri dan membisikkan kata sia-sia kepadaku. Awalnya aku tak begitu peduli dan masih terus berjalan apapun yang terjadi. Namun, aku memertimbangkan ulang, apakah niat dan perjuangan aku jalani sekarang sia-sia ? atau langkah yang aku ambil ini salah ? Namun bukankah suara hati itu tidak pernah berbohong.
Mulut ini tidak pernah berhenti untuk berdo’a agar semua dipermudah dan keadaan keluargaku semakin membaik. Memang aku hanya gadis yang mencoba merantau dengan modal pura-pura berani, tapi aku berharap semua tak sia-sia.
Karma… atau mungkin akulah sosok karma tersebut ?
Entahlah, bantu aku untuk menjawab teka-teki kehidupan ini.
Maafkan aku, aku belum bisa menjadi anak yang baik dan kakak yang baik untuk adik-adikku. Bahkan sering kali aku tidak memperhatikan mereka. Mungkin kejadian itu tidak akan terjadi jika aku mampu mengimbangi dan mencurahkan rasa kasih dan sayang ini dengan perhatian yang lebih. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Aku sedih.. aku merasa dihantui dengan segala kesalahan yang tak mampu mengemban amanah ini. Hari-hariku malah disibukkan dengan duniaku saat ini. Tuhan, maafkan aku…
Adikku, akan menikah bulan depan. Kehidupan memang seperti halnya panggung sandiwara. Awalnya aku tak percaya mendengar berita ini. Namun, ternyata ini realita. Aku tak tahu harus bahagia atau sedih. Aku bersyukur karena dia telah bertemu jodohnya, dan semoga lelaki itu memang jodohnya yang mampu melindungi adikku. Namun, air mataku masih mengalir, aku tak percaya hal itu terjadi kepada adikku. Terdengar aku menceritakan aib. Aku mencintai dia, adikku lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Ketika bersamanya aku rela mengorbankan seluruh 24 jam ku dalam sehari untuk dia. Meskipun begitu tak selamanya aku bisa bersamanya, keadaan menuntutku untuk pergi dan mencari harapan baru untuk membangun kehidupan keluarga yang lebih baik. Kali ini aku merasa gagal menjadi kakak yang baik, rasa perhatian ke adikku berkurang semenjak aku meninggalkan kampung halaman. Duniaku mengalihkan perhatianku ke dia. Maafkan embak adikku, embak tidak bisa memperhatikanmu dengan baik, embak tidak bisa memberikan cinta dan kasih sayang sesuai yang kamu harapkan. Hingga malah kamu terjerumus ke pergaulan di kehidupan realita yang begitu bebas. Seharusnya embak ada disampingmu selalu untuk membantu mengingatkan dan melindungimu dalam setiap langkah kehidupanmu.
Nasi sudah menjadi bubur. Apa daya aku sudah tidak bisa berperan sebagai kakak yang akan selalu ada disampingnya. Dan aku juga harus mengubur mimpiku untuk adikku.  Sebentar lagi dia akan bersama suaminya dan kehidupan baru akan dia jalaninya. Mulut dan hatiku akan terus berdo’a untuk dia. Aku sayang adikku.  Maafkan embak adikku...


Sunday 8 February 2015

Mimpiku bersama #DjakartaYouth

Ya benar... aku memang gadis yang berasal dari kampung yang semenjak SMA meninggalkan kampung halaman untuk merantau demi pendidikan dan masa depan yang lebih baik. Hingga kemudian perjalanan hidupku aku dipertemukan di suatu tempat dimana aku mewakili Ibukota. Suatu kehormatan karena segala curahan hati, ide dari inspirasi didengar dan dianggap. Juga suatu tantangan baru untuk saya bisa mengenal, belajar lebih dekat di Ibukota.
Jiwaku masih setia bersama ku untuk memberikan semangat dan cintanya.
Dimana ada niatdisitu ada jalan, hingga kemudian aku bersama teman-teman di Jakarta menggagas Djakarta Youth Community (Komunitas Pemuda Jakarta)
Penjelajahanku belum selesai dan tidak akan pernah usai hingga aku mati, bahkan ketika batinku merintih dengan keadaan yang aku hadapi sekarang aku masih mau mencoba dan terus mencoba beregerak hingga jalan selanjutnya bisa aku temukan.
Bersama Djakarta Youth Community aku menaruh mimpi untuk Pemuda Jakarta bergerak bersama mencoba melihat tidak hanya sekedar melirik atas segala keadaan yang terjadi di Ibukota. Tidak hanya sekedar mengkritik dan mengeluh tapi juga memberi solusi penuh dan mau bergabung. Bergabung yang tidak hanya sebagai 'formalitas' pernah berkontribusi namun tulus dari hati. Imbalan memang tidak ada, namun bukankah menjadi volunteer itu indah ? Bagiku menjadi volunteer mengajarkanku untuk bersyukur. Ya, sudah dari SMA aku dididik menjadi volunteer dan aku menemukan duniaku yang begitu indah disana.
Keberadaanku di Jakarta bersama Djakarta Youth Community dan aku menaruh mimpi besar disana

Dalam Diam yang Didengar

Tatkala sore itu seusai hujan mengguyur kampung domisili aku saat ini, aku sejenak duduk dan berdo'a dengan penuh harap agar hidup ini bisa aku jalani dengan penuh rasa syukur dan Tuhan mau memaafkan masa laluku.
Aku mengikhlaskan semua masa lalu dan kembali ke jajahan hidup yang harus aku jalani dengan banyak resiko dan tantangan yang aku hadapi. Mungkin ini adalah proses untuk mendewasakan aku dan membuka mata hatiku untuk tidak sekedar melirik tapi melihat dengan hati apa yang terjadi pada diriku ini. Sekilas aku bertanya kepada diriku, untuk apa aku berjalan, berlari, ketika jatuh harus bangun dan terus berlanjut demikian. Bahkan aku juga melihat sekelilingku mereka orang-orang yang aku lihat dengan mulus mereka melewati kehidupan mereka. Atau mungkin hanya pandanganku saja ?
Eksistensi.. Kita butuh eksistensi untuk hidup.
Untuk apa berjalan tanpa tujuan ? Tapi batinku terus bergetar dan memaksa aku berdiri dan tidak mengeluh.
Status di KTP sekarang sudah menjadi anak Ibukota. Namun apa yang sudah aku lakukan ? Apa yang sudah sumbangsihkan untuk Ibukota Indonesia-ku ?
Aku masih mencoba untuk tegar, melakukan apa yang bisa aku lakukan untuk menjadi orang yang lebih baik demi tanah air tercinta.
Kuanggap perjuanganku sia-sia. Suaraku tak lagi didengar, dan banyak orang yang menggantungkan harapanku (mungkin) dan mengabaikanku.
Tapi, tiba-tiba aku menerima pesan singkat dari salah satu rekan di NTB. Really thanks to her for being notice me and appreciate my work on helping children around Indonesia to reach their best education.
Tuhan, betapa cepat engkau menjawab do'aku,