Menerima diri sendiri berarti
menerima lingkungan kita
Bismillah,
Assalamualaikum
Cara
menentukan arah hidup dibagi menjadi dua, yaitu melawan arus atau membiarkan
mengalir saja. Tentu, dua hal itu tidak bisa kita gunakan hanya satu; kita
perlu melawan arus dan kita perlu membiarkan hidup mengalir begitu saja.
Konteksnya, bergantung pada daya peka kita terhadap situasi. Bersyukur kepada
Allah, masih diberi banyak anugerah dan hidayah dalam beberapa fase kehidupan
yang ditempuh. Banyaknya melibatkan rasa karsa.
Aku
baru saja dinyatakan lulus, dengan predikat yang cukup bikin bangga orang tua.
Namun sering kali aku bilang kepada diri sendiri bahwa tidak ada pencapaian
yang sempurna, ini biasa saja. Semua yang terjadi hanya kebetulan dan
keberuntungan. Ya, beruntung… semenjak aku paham makna beruntung, aku sering
berdoa agar selalu menjadi orang yang beruntung. Selama empat tahun belajar di
bangku kuliah, mengajarkan akan hidup itu tidak sendiri namun kita harus mampu
bertahan walau kita ngerasa sendiri. Pada hakikatnya kita ga pernah sendiri,
selalu ada Allah. Dan ketika kita melihat lebih dekat lagi, banyak teman-teman
yang ada untuk kita. Ketika kita mau menerima diri sendiri, kemudian kita akan
menerima lingkungan kita.
Pernah
ga kita melihat ke diri sendiri dengan kaca mata cermin? Menyaksikan siapa diri
kita dan bagaimana kita telah mencintai diri kita. Berkata pada diri kita, apa
kebaikan yang sudah kita lakukan dan apakah sudah kita minta maaf pada sekitar
yang mungkin tidak sengaja kita sakiti. Memberi senyum kepada diri kita, yang
mungkin kian mendewasa dan melepas ego secara perlahan.
Kita
semua memiliki sisi ketidaknyamanan pada diri, sisi gelap yang tidak kita
perlihatkan ke banyak orang bahkan orang paling kita anggap dekat dengan kita.
Kita menyembunyikannya itu dalam dalam. Kadam bisa timbul menjadi rasa takut
kemudian diri menjadi korban, depresi. Aku pernah melewati fase itu. Kemudian
singkat cerita, aku bisa bilang bahwa dengan kita menerima diri kita apa adanya
itu sudah menjadi obat agar kita bisa terus berjalan dipenuhi dengan rasa
syukur. Salah seorang teman tempo hari juga berkata “walau sedih, usahakan
selalu ada yang menimbulkan rasa syukur dari momentum sedih itu”. InsyaAllah,
berkali kali aku menjalani rasa sedih, tapi rasa syukur selalu kuusahakan
sedih.
Fase
menerima diri ini, aku mengikhlaskan banyak yang terjadi dalam kehidupanku. Aku
menerima juga pandangan segala diri yang dianggap baik oleh orang banyak, walau
sebenarnya dianggap orang baik atau orang hebat itu sangan beban. Pernah suatu
hari menangis karena ketakutan jika tidak ada yang menerima diri ini ketika
tidak lagi dianggap hebat. Setelah menangis, sholat, dan berdoa….tidak perlu
sedih ketika kita sudah dianggap tidak berharga lagi. Kalau kita terus-terusan
mengikuti definisi orang lain, kita akan lelah. Karena hakikatny tidak ada yang
sempurna. Tuntutan untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik akan selalu
ada. Jadikan diri kita selalu ada untuk kita kapanpun. Kasian diri kita yang
ikut memberi penilaian kepada diri jika itu malah membuat buruk. Syarat
bertumbuh, harus disayang dan dirawat sebaik-baiknya. Biarkan diri kita
bertumbuh J
Fase itu kemudian membawaku ternyata ingin lebih dekat
dengan teman-teman dan semua relasi yang juga berubah menjadi teman. Semenjak
itu, aku usahakan membagi waktu untuk temanku, mendengarkan dan menjadi ada
untuk mereka. InsyaAllah.
Tidak ada yang salah dengan kita memberi target ke diri,
atau melawan arus demi kita mendapatkan fitrah kebaikan. Semakin kita bertemu
banyak orang, pergi ke tempat baru, dan semakin kita mengenal-Nya ternyata
membuatku nyaman dan insyaAllah paham kapan melawan arus dan kapan membiarkan
hidup mengalir saja.
Dalam waktu sehari kita bisa saja mengalami kejadian yang
membuat kita sedih, senang, terkejut, dan lain-lain. Bahagia adalah ketika kita
bisa mengekspresikan setiap suasana itu. Namun ada beberapa yang ketika terkena
sedih, maka hari itu menjadi sedih seluruhnya. Bismillah, ketika kita mau
berlatih untuk menerima, menihilkan asumsi, dan mengatur emosi, menurut
pengalamanku kita bisa kok bahagia. Karena tidak ada sedih yang sifatnya kekal
kan.
Tahun ini aku ke Eropa, pulang dari Eropa koper pecah dan
entah firasat buruk terjadi. Ternyata ketika pulang, ayah di rumah sakit
terkena stroke. Dalam masa jet lag
aku pulang ke kampung halaman, kemudian melihat semua berdoa untuk ayah disaat
ayah berada dalam titik terendahnya. Aku tersenyum, dan rasa peka ku membuatku
mengerti sekeliling yang bertanya-tanya kenapa aku tersenyum. Sekeliling yang
bertanya-tanya kenapa aku tenang. Aku kala itu, sedang menerima keadaan pun
mengajak ayah untuk ikhlas. Dan banyak keajaiban yang terjadi ketika kita
ikhlas, termasuk Allah memberi kesembuhan untuk ayah. Alhamdulillah.
Aku adalah perempuan dari kampung, yang sering ketika
pulang kampung kadang ada saja yang bikin hati pedih. Sulit untuk hati seketika
harus menerima, memaafkan, memaklumi, dan tegas harus berjalan dengan senyum,
Pernah kala itu yang ada jatuh sakit, karena lelah mendengar banyak omongan.
Namun, sadar atau tidak jika kita bisa mengontrol dan menyaring apa apa saja
yang berhak masuk ke hati pikiran kita, semua akan baik-baik saja kok. Tidak
ada yang salah dengan memaafkan, tidak ada yang salah dengan memaklumi, dan
tidak ada yang salah dengan mendengarkan. Ikhlaskan saja….
Jatinangor, 03
September 2018
Sayap Kecil