Saturday, 13 February 2016

"Dan keajaiban itu kembali terjadi....."

Dibayarpun tidak, dihargai belum tentu, dicaci bahkan menjadi sapaan harian. Lantas kenapa masih bersikukuh menjadi relawan?

Hampir 21 tahun saya bernapas di bumi, banyak jatuh dan bangun yang seyogyanya manusia hidup pasti mengalaminya. Ketika berteriak tak didengar, berjalan tak disapa, senyum tak dibalas dan air mata menjadi bahan tawa. Menengadah di sepertiga malam menjadi waktu curhatan hati. Jauh di desa saya berasal hingga sekarang ibukota menjadi saksi terwujudnya "pelampiasan" ini.
Dua minggu yang lalu saya pulang ke kampung halaman. Tiga hari saya habiskan berdiam diri di rumah selain silaturahim ke sekolah kemudian pergi ke tempat lain. Menjadi trauma tersendiri ketika keluar rumah. Saya harus menjaga kepribadian yang sopan dan santun bak perempuan Jawa yang harus ajeg dengan tata krama. Saya memilih menjadi perempuan polos yang seolah-olah tak tau apa-apa. Yang saya tanamkan dalam benakku saat itu bagaimana saya bisa mengubah status keluarga menjadi lebih baik dan mengangkat derajat dunia akhirat.

Tapi apalah daya, saya selalu merasa bahwa saya masih 'anak kecil' yang susah sekali untuk didengarkan yang harus menghapus rasa benci didetik itu juga. Namun menjadi momen yang sangat mengajarkan untuk bersyukur karena hal ini yang menumbuhkan keberanian dalam hati.

Asumsi orang terkadang meracuni pikiran. Dikira mereka di tanah rantau saya berleha-leha setiap harinya, tak memikirkan orang tua bahkan terbesit tuk pulang ke kampung halaman. Bahkan jika mereka mengetahui hal yang sebenarnya saya harus mencari recehan untuk pulang kampung dan kembali ke tanah rantauan. 'Ahh, tapi ini sudah wajar tuk dilakukan perempuan desa yang pergi dan harus kembali dengan segala kemandirian'.

Saya kembali ke tanah rantau, berharap dengan senyuman namun ternyata masih saja ada air mata.

------------------------------------

Tenang dan damai...

Ketika mempunyai masalah mendekatlah kepada Sang Pemilik solusi dari masalah tersebut.
Apa kabar beasiswa?
Topangan makan sehari-hariku dari uang beasiswa. Sadis, 44 mahasiswa di kampus saya belum cair uang beasiswanya. Saya makan bagaimana? Foto kopi buku? Komitmen di kegiatan sosial yang saya ikuti?
saya ikut kepenulisan dan apply beberapa lowongan freelance semua ditolak. Mungkin saya terlalu gegabah saat itu. Sikap introvert menuntut untuk segera menyelesaikan kemudian menceritakan. Sepertiga malam menjadi saat saya banjir air mata dan berdo'a

"Ya Allah, engkau Sang Pemberi rejeki kepada hambamu. Saya kuliah niat untuk belajar bekal dunia akhirat dan bermanfaat bagi bangsa, agama. Hamba tidak mau menyusahkan apalagi menambah beban orang tua dengan hamba kuliah. Hamba berusaha mencari beasiswa dan alhamdulillah dapat namun saat ini belum cair. Hamba ikhlas dan terimakasih kepada-Mu karena selalu memberi kesempatan mencari solusi. Semoga disegerakan hamba menemui solusi untuk topangan makan sehari-hari juga pendukung kegiatan sosial hamba."

...... Dan keajaiban itu kembali terjadi.

Ajaib! H+2 setelah saya berdo'a, Allah langsung mengabulkan. Ada malaikat yang dikirimnya ke bumi dan meminta saya untuk membantu sebuah usaha yang beliau rintis. Tanpa CV, tanpa essay, bahkan saya belum mengenal beliau. Kemudian kita bertemu dan bercerita. Semua apa adanya, saya menceritakan apa yang saya mampu untuk lakukan namun saya memiliki banyak catatan untuk upgrade banyak kemampuan lain. Syukron kepada Allah SWT, benar ternyata ketika hati tenang, fokus solusi, perbaiki niat dan kepribadian segala dipermudah oleh-Nya. Beliau memberi kesempatan saya untuk belajar dengan bergabung di usaha yang beliau rintis. Menjadi bekal ilmu untuk saya menjadi pengusaha.

------------------------------------

1. Senyumin aja
2. Jika ada tawaran kerja, ambilah
3. Perempuan harus mandiri
4. Kamu sudah dewasa sekarang
5. Tidak ada orang tua yang membenci anaknya, kamu akan tahu ketika kamu menjadi ibu kelak

Beberapa pesan yang saya rangkum dalam benak pikiran dari guru SMP yang sudah seperti ibu sendiri. Silaturahim ke SMP memberikan kebahagiaan tersendiri. Saya sangat diterima dengan baik dan sangat luar biasa para guru masih ingat dengan budaya sholawat setiap pagi yang saya pimpin dalam kelas.

"Selau perbaiki akhlak, ndok. Karena pintar saja tidak cukup. Jangan lupa ucapkan istighfar dan sholwat setiap perjalanan. Ucapkan dalam hati saja, InsyaAllah mampu menjadi obat. Membaca al-qur'an jadikan sebagai budaya sehari-hari" pesan bapak kepala sekolah.

Wejangan-wejangan dari para orang tua SMP tersebut saya endapkan selalu dan mulai saya aplikasikan sebagai 'bayaran' suatu perbaikan diri.
Perjalanan dari kampung ke Jakarta berasa lega meskipun ada air mata namun hati terus bersholawat.

Dan keajaiban itu kembali terjadi.....

-------------------------
Dibayarpun tidak, dihargai belum tentu, dicaci bahkan menjadi sapaan harian. Lantas kenapa masih bersikukuh menjadi relawan?
Bukan bayaran yang menjadi harga, bukan penghargaan dari orang lain yang dicari, bukan cacian yang membuat kita lantas menjadi sendiri. Kenapa bersikukuh menjadi relawan, karena keajaiban bersamanya.


Depok, 14 Februari 2016


Sayap kecil

No comments:

Post a Comment