Monday, 9 February 2015

Maafkan Embak Adikku...

Tuhan, apa salahku ? Bantu aku untuk mengevaluasi dan untuk menjalani kehidupan yang penuh terkaan ini. Merantau memang bukan pilihanku namun ini kebutuhanku melihat keadaan keluargaku yang butuh perubahan yang lebih baik. Aku menyayangi mereka, lebih dari aku menyayangi diriku sendiri.
Mengapa ini terjadi kepada keluargaku ?
Terpaan ini hidup begitu berat aku rasakan. Rasanya getir dan pedih sekali  namun keadaan seakan-akan menyuruhku untuk tetap tersenyum dengan wajah polos walau sebenarnya itu suatu kebohongan besar.
Niat awal yang menjad komitmenku aku jalani hingga sekarang. Bertubi-tubi kegagalan aku hadapi dan ribuan kilo jalan aku berjalan bahkan berlari. Dengan cinta penuh demi keadaan keluarga keluarga aku bertahan. Namun sekali lagi, semangatku tergoyahkan. Aku malu dan sangat malu. ‘Musibah’ itu datang kepada keluargaku. Aku mencoba dan terus  mencoba sekuat hati dan tenaga untuk menciptakan nama baik keluarga, namun seakan-akan ‘karma’ itu uterus menghampiri dan membisikkan kata sia-sia kepadaku. Awalnya aku tak begitu peduli dan masih terus berjalan apapun yang terjadi. Namun, aku memertimbangkan ulang, apakah niat dan perjuangan aku jalani sekarang sia-sia ? atau langkah yang aku ambil ini salah ? Namun bukankah suara hati itu tidak pernah berbohong.
Mulut ini tidak pernah berhenti untuk berdo’a agar semua dipermudah dan keadaan keluargaku semakin membaik. Memang aku hanya gadis yang mencoba merantau dengan modal pura-pura berani, tapi aku berharap semua tak sia-sia.
Karma… atau mungkin akulah sosok karma tersebut ?
Entahlah, bantu aku untuk menjawab teka-teki kehidupan ini.
Maafkan aku, aku belum bisa menjadi anak yang baik dan kakak yang baik untuk adik-adikku. Bahkan sering kali aku tidak memperhatikan mereka. Mungkin kejadian itu tidak akan terjadi jika aku mampu mengimbangi dan mencurahkan rasa kasih dan sayang ini dengan perhatian yang lebih. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Aku sedih.. aku merasa dihantui dengan segala kesalahan yang tak mampu mengemban amanah ini. Hari-hariku malah disibukkan dengan duniaku saat ini. Tuhan, maafkan aku…
Adikku, akan menikah bulan depan. Kehidupan memang seperti halnya panggung sandiwara. Awalnya aku tak percaya mendengar berita ini. Namun, ternyata ini realita. Aku tak tahu harus bahagia atau sedih. Aku bersyukur karena dia telah bertemu jodohnya, dan semoga lelaki itu memang jodohnya yang mampu melindungi adikku. Namun, air mataku masih mengalir, aku tak percaya hal itu terjadi kepada adikku. Terdengar aku menceritakan aib. Aku mencintai dia, adikku lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Ketika bersamanya aku rela mengorbankan seluruh 24 jam ku dalam sehari untuk dia. Meskipun begitu tak selamanya aku bisa bersamanya, keadaan menuntutku untuk pergi dan mencari harapan baru untuk membangun kehidupan keluarga yang lebih baik. Kali ini aku merasa gagal menjadi kakak yang baik, rasa perhatian ke adikku berkurang semenjak aku meninggalkan kampung halaman. Duniaku mengalihkan perhatianku ke dia. Maafkan embak adikku, embak tidak bisa memperhatikanmu dengan baik, embak tidak bisa memberikan cinta dan kasih sayang sesuai yang kamu harapkan. Hingga malah kamu terjerumus ke pergaulan di kehidupan realita yang begitu bebas. Seharusnya embak ada disampingmu selalu untuk membantu mengingatkan dan melindungimu dalam setiap langkah kehidupanmu.
Nasi sudah menjadi bubur. Apa daya aku sudah tidak bisa berperan sebagai kakak yang akan selalu ada disampingnya. Dan aku juga harus mengubur mimpiku untuk adikku.  Sebentar lagi dia akan bersama suaminya dan kehidupan baru akan dia jalaninya. Mulut dan hatiku akan terus berdo’a untuk dia. Aku sayang adikku.  Maafkan embak adikku...


No comments:

Post a Comment