Tuhan, apa salahku ? Bantu aku untuk mengevaluasi dan untuk
menjalani kehidupan yang penuh terkaan ini. Merantau memang bukan pilihanku
namun ini kebutuhanku melihat keadaan keluargaku yang butuh perubahan yang
lebih baik. Aku menyayangi mereka, lebih dari aku menyayangi diriku sendiri.
Mengapa ini terjadi kepada keluargaku ?
Terpaan ini hidup begitu berat aku rasakan. Rasanya getir
dan pedih sekali namun keadaan
seakan-akan menyuruhku untuk tetap tersenyum dengan wajah polos walau
sebenarnya itu suatu kebohongan besar.
Niat awal yang menjad komitmenku aku jalani hingga sekarang.
Bertubi-tubi kegagalan aku hadapi dan ribuan kilo jalan aku berjalan bahkan berlari.
Dengan cinta penuh demi keadaan keluarga keluarga aku bertahan. Namun sekali
lagi, semangatku tergoyahkan. Aku malu dan sangat malu. ‘Musibah’ itu datang
kepada keluargaku. Aku mencoba dan terus
mencoba sekuat hati dan tenaga untuk menciptakan nama baik keluarga,
namun seakan-akan ‘karma’ itu uterus menghampiri dan membisikkan kata sia-sia
kepadaku. Awalnya aku tak begitu peduli dan masih terus berjalan apapun yang
terjadi. Namun, aku memertimbangkan ulang, apakah niat dan perjuangan aku
jalani sekarang sia-sia ? atau langkah yang aku ambil ini salah ? Namun
bukankah suara hati itu tidak pernah berbohong.
Mulut ini tidak pernah berhenti untuk berdo’a agar semua
dipermudah dan keadaan keluargaku semakin membaik. Memang aku hanya gadis yang
mencoba merantau dengan modal pura-pura berani, tapi aku berharap semua tak
sia-sia.
Karma… atau mungkin akulah sosok karma tersebut ?
Entahlah, bantu aku untuk menjawab teka-teki kehidupan ini.
Maafkan aku, aku belum bisa menjadi anak yang baik dan kakak
yang baik untuk adik-adikku. Bahkan sering kali aku tidak memperhatikan mereka.
Mungkin kejadian itu tidak akan terjadi jika aku mampu mengimbangi dan
mencurahkan rasa kasih dan sayang ini dengan perhatian yang lebih. Namun, nasi
sudah menjadi bubur. Aku sedih.. aku merasa dihantui dengan segala kesalahan
yang tak mampu mengemban amanah ini. Hari-hariku malah disibukkan dengan
duniaku saat ini. Tuhan, maafkan aku…
Adikku, akan menikah bulan depan. Kehidupan memang seperti
halnya panggung sandiwara. Awalnya aku tak percaya mendengar berita ini. Namun,
ternyata ini realita. Aku tak tahu harus bahagia atau sedih. Aku bersyukur
karena dia telah bertemu jodohnya, dan semoga lelaki itu memang jodohnya yang
mampu melindungi adikku. Namun, air mataku masih mengalir, aku tak percaya hal itu
terjadi kepada adikku. Terdengar aku menceritakan aib. Aku mencintai dia,
adikku lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Ketika bersamanya aku rela
mengorbankan seluruh 24 jam ku dalam sehari untuk dia. Meskipun begitu tak
selamanya aku bisa bersamanya, keadaan menuntutku untuk pergi dan mencari harapan
baru untuk membangun kehidupan keluarga yang lebih baik. Kali ini aku merasa
gagal menjadi kakak yang baik, rasa perhatian ke adikku berkurang semenjak aku
meninggalkan kampung halaman. Duniaku mengalihkan perhatianku ke dia. Maafkan embak
adikku, embak tidak bisa memperhatikanmu dengan baik, embak tidak bisa
memberikan cinta dan kasih sayang sesuai yang kamu harapkan. Hingga malah kamu terjerumus
ke pergaulan di kehidupan realita yang begitu bebas. Seharusnya embak ada
disampingmu selalu untuk membantu mengingatkan dan melindungimu dalam setiap
langkah kehidupanmu.
Nasi sudah menjadi bubur. Apa daya aku sudah tidak bisa berperan
sebagai kakak yang akan selalu ada disampingnya. Dan aku juga harus mengubur
mimpiku untuk adikku. Sebentar lagi dia
akan bersama suaminya dan kehidupan baru akan dia jalaninya. Mulut dan hatiku
akan terus berdo’a untuk dia. Aku sayang adikku. Maafkan embak adikku...
No comments:
Post a Comment