Pemuda yang sempat aku kagumi juga aku
‘kasihani’ itu sempat mengisi menarik perhatianku setahun belakang ini,
semenjak aku pertama kali mengenalnya di kaki Gunung itu. Tak begitu tampan dan
orangnya sederhana. Namun, ruang hati yang kosong sepat terisi oleh
kehadirannya. Kehadirannya membuatku menjadi lebih mencintai diriku sendiri.
Bahkan juga mencintai dirinya. Hal yang sangat aku resahkan dan aku takutkan
adalah tentang perasaanku kepada pemuda. Apalagi pemuda itu, pemuda yang
merantau dari tanah Daeng dan aku pemudi yang merantau dari tanah Jawa. Aku tak
tahu apa yang akan terjadi esok dan hari-hari berikutnya. Karena aku takut akan
perasaan cinta ini. Aku meninggalkannya sementara. Tedengar bodoh, sosok yang membantuku
menjadi perempuan yang lebih baik malah aku menjauhinya. Aku hanya tidak ini
tenggelam dalam perasaan cinta. Seharusnya aku biasa saja sama dia. Tapi,
perempuan memang identik dengan perasaannya. Dan aku perempuan biasa yang masih
belajar memahami dan memaknai perasaan. Aku menjauhinya. Dialah pemuda yang
ditunggu bangsa ini. Mimpinya juga amat tinggi dan perjuangan dia juga begitu
hebat. Namun aku kasihan ke dia. Mendo’akannya dalam hati, itu yang bisa aku
lakukan. Berdo’a agar yang dia impikan menjadi kenyataan dan dia diberi
kesabaran dan kekuatan dalam menapaki kehidupannya untuk membuat sejarah baru
yang tidak bisa dilupakan. Aku menyayanginya, sangat menyayanginya. Karena itu
aku menjauhinya. Aku tidak mau kehadiranku mengganggunya. Namun, diam-diam aku
masih memperhatikannya. Terdengar lancang mungkin bagaimana cara aku
memperhatikannya. Aku mencoba selalu mencari tau
kemana dia pergi dan dengan alasan apa dia pergi tanpa aku bertanya padanya.
Ah, nanti saja aku bercerita tentang perilaku tidak sopanku ini kepada dia
langsung. Karena aku mengkhawatirkannya, termasuk pemuda yang terbesit di
benakku ketika bangun tidur adalah dia. Sesekali air mata yang menetes, karena
aku merindukannya. Merindukan tawa, senyum , gaya kenakanak-kanakan yang begitu
lucu, dengkuran tidurnya, bandel, muka polosnya yang begitu menggemaskan,
ekspresi ketika dia marah karena pehatian dan sempat membuatku amat ketakutan
kemudian dia senyum tiba-tiba dan membuatku ketawa. Usia kami berbeda jauh tapi
juga sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya 6 tahun. Aku masih mau semester 2,
masa studi yang aku lalui masih panjang dan aku juga butuh berjuang dengan
kehidupanku dan meraih segala mimpi untuk mengubah nasib keluargaku menjadi
lebih baik. Dia dalam kiprahnya memulai dan membangun bisnis juga mudah-mudahan
dia melanjutkan studinya. Aku tidak bisa menebak dan tidak bisa mengira-ngira
bagaimana perasaan dia ke aku. Dia amat dingin namun aku nyaman bercerita dan
menceritakan segala hal ke dia, aku suka ketika aku menaruh perhatianku ke dia.
Tapi sebenarnya, aku minder karena aku bukan siapa-siapa. Dan pasti ada
perempuan lain yang dia kagumi juga menjadi semangat hidupnya saat ini. Dia
memberiku lebih, namun aku tidak bisa memberinya apa-apa. Karena itu aku
menjauhinya…
Aku berharap aku bisa menjadi
perempuan yang lebih bisa mandiri dan tidak ‘manja’ ke dia. Dalam diam aku
mendo’akannya dan diam-diam aku masih berusaha untuk memperhatikannya. Tuhan,
jagalah pemuda itu, buat senyum dan semangatnya terus berkobar. Lindungi dia
dari kejamnya realita dunia ini. Kuatkan dia ketika dia merasakan kegundahan
dalam hidupnya.
No comments:
Post a Comment